Pesan Al-Qur’an: Jangan Biarkan Problem Finansial Membawa pada Kehancuran dan Filisida

12 Min Read

CENGOS.IN – Beberapa waktu lalu, masyarakat dikejutkan oleh peristiwa tragis di Kabupaten Bandung. Seorang ibu dan dua anaknya ditemukan meninggal dunia, dengan dugaan kuat persoalan ekonomi menjadi latar belakangnya. Kasus ini bukan hanya meninggalkan duka yang mendalam, tetapi juga memperlihatkan bagaimana tekanan hidup dapat mendorong seseorang pada pilihan yang keliru dan menyakitkan.

Artikel ini hadir bukan dalam rangka menghakimi maupun menyudutkan sang ibu. Namun, dalam pandangan agama, tindakan mengakhiri hidup, baik diri sendiri maupun orang lain, tidak pernah dibenarkan. Islam menegaskan hal ini sebagai dosa besar, sebagaimana firman Allah SWT:


وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْۚ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ

Artinya, “Dan janganlah membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. (Tuhanmu berfirman,) ‘Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.’ Janganlah pula kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar,” (QS. Al-An’am [6]: 151).

Ayat ini menegaskan larangan membunuh anak dengan alasan takut masa depan. Sejalan dengan itu, Allah SWT berfirman dalam ayat lain:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا

Artinya: “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan (juga) kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa yang besar,” (QS. Al-Isra’ [17]: 31).

Secara garis besar, kedua ayat ini memiliki makna yang sama, yaitu larangan keras terhadap filisida, pembunuhan anak oleh orang tuanya sendiri. Namun, bila ditelaah lebih dalam, penekanan makna pada keduanya saling melengkapi. Beberapa kitab tafsir memberikan uraian yang cukup detail mengenai hal ini.

Dalam sejumlah tafsir, misalnya Tafsir Khazin, tafsir karya Imam Nawawi Banten, Marah Labid li Kasyfi Ma‘na al-Qur‘an al-Majid, maupun tafsir Syekh Muhammad Amin, yaitu Nuzhulu Kiramidh Dhifan fi Sahati Hada‘iqur Rauhi war Raihan, dijelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kebiasaan bangsa Arab jahiliah yang kerap mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka. Alasannya tidak lain adalah ketakutan akan kemiskinan atau beban ekonomi keluarga.

وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ يعني من خوف الفقر، والإملاق: الإقتار. والمراد بالقتل، وأد البنات وهن أحياء فكانت العرب تفعل ذلك في الجاهلية فنهاهم الله تعالى عن ذلك وحرمه عليهم

Artinya, “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. Maksudnya adalah (membunuh) karena takut miskin. Kata ‘imlaq’ berarti kefakiran. Adapun yang dimaksud ‘membunuh’ adalah mengubur hidup-hidup anak perempuan, sebagaimana kebiasaan orang Arab di masa jahiliah. Allah SWT melarang dan mengharamkan perbuatan tersebut,” (Imam Khazin, Tafsirul Khazin, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1995], Jilid II, hlm. 171).

Penjelasan di atas adalah penafsiran Imam Khazin untuk QS. Al-An‘am [6]:151. Sementara itu, pada QS. Al-Isra’ [17]:31, beliau memberikan uraian tambahan sebagai berikut:

وذلك أن أهل الجاهلية، كانوا يئدون بناتهم خشية الفاقة أو يخافون عليهم من النهب والغارات، أو أن ينكحوهن لغير أكفاء لشدة الحاجة وذلك عار شديد عندهم فنهاهم الله عن قتلهن

Artinya, “Orang-orang jahiliah dahulu kerap mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka karena takut miskin, khawatir menjadi korban penjarahan atau serangan, atau karena bisa saja mereka menikahkan putri-putri itu dengan laki-laki yang tidak sepadan akibat desakan kebutuhan. Semua itu dianggap aib besar bagi mereka. Maka Allah pun melarang perbuatan membunuh anak-anak perempuan tersebut,” (Tafsirul Khazin, Jilid III, hal. 129).

Syekh Muhammad Amin memberikan penjelasan yang menarik mengenai dua ayat tersebut. Menurutnya, QS. Al-An‘am [6]:151 menegaskan larangan bagi orang tua membunuh anak-anaknya meskipun mereka dalam keadaan fakir. Sedangkan QS. Al-Isra’ [17]:31 memperingatkan agar tidak membunuh anak walaupun orang tuanya dalam kondisi mampu, namun diliputi rasa takut jatuh miskin di masa depan (Tafsir Nuzulu Kiramidh Dhifan fi Sahati Hada‘iqur Rauhi war Raihan, [Beirut: Daru Thauqin Najah, 2001], jilid IX, hlm. 134).

Dengan kata lain, istilah imlaq dalam kedua ayat ini dimaknai sebagai kefakiran atau kekhawatiran akan kemiskinan. Penafsiran ini juga sejalan dengan keterangan Imam Ibnu Abbas RA, yang menyebut imlaq berarti fakir, sementara sebagian ulama menafsirkannya sebagai lapar.

Dari sini, jelas bahwa filisida, membunuh anak dengan alasan apa pun, baik karena benar-benar miskin maupun karena takut miskin, tidak memiliki dasar pembenaran dalam Islam. Semua bentuk dalih itu justru bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Islam sendiri menekankan bahwa dalam kondisi miskin maupun kaya, seorang hamba tetap dituntut untuk berusaha secara lahiriah dan kemudian bertawakal. Hal ini ditegaskan dalam kelanjutan ayat tersebut: “Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.”

Konsep Miskin dan Kaya

Syekh Nawawi Banten menjelaskan bahwa firman Allah dalam QS. Al-Isra’ [17]:31, “Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka,” merupakan bantahan tegas terhadap alasan kemiskinan atau sekadar kekhawatiran jatuh miskin sebagai dalih membunuh anak. Dengan kalimat itu, Allah SWT menegaskan bahwa dalih semacam ini sama sekali tidak sah untuk membenarkan filisida.

Beliau berkata: “Kemudian Allah SWT menjelaskan rusaknya dalih tersebut dengan firman-Nya: ‘Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka,’ yakni anak-anak kalian,” (Syekh Nawawi Banten, Marah Labid li Kasyfi Ma‘nal Qur‘anil Majid, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah], jilid I, hlm. 354).

Ungkapan ini menjadi isyarat bahwa rezeki orang tua maupun anak-anak sejatinya sudah dijamin oleh Allah SWT. Namun, jaminan tersebut tidak dimaksudkan untuk membuat manusia berpangku tangan. Usaha lahiriah tetap harus dilakukan, barulah hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Sang Pemberi Rezeki.

Syekh Muhammad Amin menambahkan penjelasan menarik tentang perbedaan gaya bahasa dalam dua ayat tersebut. Dalam QS. Al-Isra’ [17]:31, Allah mendahulukan penyebutan rezeki anak-anak sebelum rezeki orang tua, berbeda dengan QS. Al-An‘am [6]:151.

Menurutnya, perbedaan ini berkaitan dengan kondisi kemiskinan yang dihadapi: dalam QS. Al-An‘am menyangkut kemiskinan yang nyata dialami saat itu, sedangkan dalam QS. Al-Isra’ berhubungan dengan kemiskinan yang dikhawatirkan akan terjadi di masa depan, ketika anak-anak sudah dewasa dan mampu bekerja, sementara orang tua telah menua dan membutuhkan bantuan mereka.

Dari sini dapat dipahami, larangan dalam dua ayat itu menegaskan dua hal: pertama, jangan membunuh anak karena miskin saat ini; kedua, jangan pula membunuh anak karena takut miskin di masa depan. Dalam kedua konteks ini, Allah SWT mendahulukan jaminan rezeki bagi pihak yang masih bisa berusaha, sebagai isyarat bahwa usaha manusia adalah jalan datangnya rezeki, bukan alasan untuk meninggalkan ikhtiar dengan dalih tawakal (Syekh Muhammad Amin, Tafsir Nuzulu Kiramidh Dhifan fi Sahati Hada‘iqur Rauhi war Raihan, jilid IX, hlm. 133).

Dengan demikian, miskin dan kaya adalah bagian dari takdir Allah SWT. Namun, ketentuan ini bukan berarti manusia boleh menyerah pada keadaan. Islam justru mengajarkan agar usaha dilakukan sekuat tenaga, lalu hasilnya diserahkan kepada Allah SWT. Prinsip ini sekaligus meneguhkan agar para pencari nafkah tidak putus asa ketika usaha tidak sesuai harapan, karena Allah lebih tahu mana yang terbaik bagi hamba-Nya.

Kesimpulannya, sikap husnuzan (berprasangka baik) kepada Allah SWT harus lebih diutamakan daripada pesimis terhadap keadaan. Putus asa hingga melakukan filisida, apalagi maternal filicide-suicide, adalah bentuk penyimpangan yang jelas bertentangan dengan nilai Islam. Fenomena filisida yang marak di masa kini sejatinya bukan hal baru, karena sudah ada sejak zaman jahiliah. Namun, justru karena itu, kasus-kasus ini menjadi peringatan keras bagi kita semua untuk menguatkan upaya pencegahan sejak dini.

Dari Masalah Individual ke Tanggung Jawab Struktural

Maraknya kasus filisida dan maternal filicide-suicide di Indonesia belakangan ini menunjukkan bahwa persoalan ini tidak bisa hanya dipandang sebagai masalah pribadi atau individu. Memang, langkah-langkah personal tetap penting, seperti meningkatkan solidaritas sosial, lebih peka terhadap tetangga yang mengalami kesulitan ekonomi, terjerat judi online (judol), atau terhimpit pinjaman online (pinjol). Namun, pendekatan individual semata jelas tidak cukup. Diperlukan juga langkah struktural yang tegas dan sistematis dari negara.

Jika ditelusuri, tiga faktor utama yang kerap menjadi pemicu awal tragedi ini adalah keterbatasan pekerjaan, maraknya judi online, dan jeratan pinjol. Karena itu, solusi yang ditawarkan tidak boleh berhenti pada ajakan moral semata, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan konkret seperti menjamin ketersediaan lapangan kerja, menutup secara tegas situs-situs judi online, dan mengendalikan praktik pinjaman online yang semakin liar. Semua ini adalah langkah preventif mendesak yang perlu segera diimplementasikan.

Sebenarnya, sejumlah regulasi pemerintah terkait hal-hal ini sudah tersedia. Masalahnya terletak pada lemahnya implementasi dan pengawasan. Tantangan kita hari ini adalah memastikan peraturan yang ada benar-benar dijalankan secara efektif, sekaligus melahirkan regulasi baru yang lebih berpihak pada rakyat kecil, terutama dalam membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan memberantas situs-situs judol yang merusak sendi kehidupan sosial-ekonomi.

Dengan kata lain, negara tidak bisa abai. Pemerintah perlu hadir bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelindung keluarga-keluarga rentan. Hal ini mencakup penyusunan mekanisme prosedural untuk membantu pasangan suami-istri yang terjerat masalah ekonomi, judol, maupun pinjol, agar mereka memiliki akses pada jalur penyelesaian yang manusiawi dan tidak terjebak pada jalan buntu.

Dalam kerangka pencegahan dini, kaidah fiqih memberikan panduan yang relevan:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ ” فَإِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ ; قُدِّمَ دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ غَالِبًا، لِأَنَّ اعْتِنَاءَ الشَّارِعِ بِالْمَنْهِيَّاتِ أَشَدُّ مِنْ اعْتِنَائِهِ بِالْمَأْمُورَاتِ

Artinya: “Mencegah mafsadah-mafsadah lebih baik daripada mendatangkan maslahat. (Artinya), ketika bertabrakan antara mafsadah dan maslahat, secara umum mencegah mafsadah harus didahulukan. Sebab, perhatian syariat terhadap hal yang dilarang lebih diutamakan daripada hal yang diperintah,” (Imam Suyuti, Al-Asybah wan Nadha’ir, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hal. 87).

Pada akhirnya, masalah seperti pinjaman online, judi daring, dan himpitan ekonomi memang kerap tampak memberi jalan keluar sesaat, namun pada kenyataannya justru menimbulkan mudarat yang jauh lebih besar dan berkepanjangan. Karena itu, langkah pencegahan sejak awal jauh lebih bijak daripada menunggu kasus-kasus tragis kembali terulang. 

Kita dituntut untuk lebih arif dalam menyikapi persoalan hidup, peka terhadap kondisi sekitar dengan menumbuhkan solidaritas sosial, sekaligus aktif mendorong pemerintah hadir dengan kebijakan yang nyata dan solutif. Akar masalah sebenarnya sudah jelas, tinggal bagaimana kita bersama-sama memastikan langkah preventif itu benar-benar terwujud. Wallahu a’lam.

Syifaul Qulub Aminalumnus Pesantren Nurul Cholil, kini aktif sebagai perumus LBM PP Nurul Cholil sekaligus editor di website PCNU Bangkalan.

Facebook Comments Box

Ikutin Kami

Saluran Whatsapp:
https://s.id/SaluranWACengos

Saluran Telegram:
https://t.me/CengosNetwork

Related Post

Share This Article