Beranda News Alasan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah

Alasan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah

81
Suasana sidang pengucapan putusan pengujian UU Pemilu dan UU Pilkada di ruang sidang MK, Kamis (26/6/2025). Foto: Humas MK

CENGOS.IN – Menurut Mahkamah, pemisahan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, memperbaiki kualitas demokrasi, serta mengurangi beban berat bagi penyelenggara pemilu dan partai politik yang selama ini menghadapi jadwal pemilu yang sangat padat dalam waktu yang hampir bersamaan.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengakhiri skema pemilu lima kotak yang selama ini digunakan dalam Pemilu Serentak. Dalam putusan terbarunya, MK menetapkan bahwa mulai tahun 2029, pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah atau lokal harus dipisahkan melalui pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada. Putusan ini diambil demi menjaga kualitas pemilu, meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, serta memberi ruang yang lebih baik bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya secara cermat dan tidak terburu-buru.

Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”.

Selain itu, Mahkamah juga menyatakan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden diselelenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”.

“Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, ‘Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden’,” ujar Ketua Majelis MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Bernomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Kamis (26/6/2025).

Permohonan ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang mempertanyakan efektivitas dan konstitusionalitas sistem pemilu serentak yang selama ini berlaku dan diterapkan.

Singkatnya dalam putusan itu, Mahkamah menyatakan penyelenggaraan Pemilu yang konstitusional mulai tahun 2029 adalah memisahkan Pemilu Nasional yakni pemilihan anggota DPR, anggota DPD, serta presiden dan wakil presiden dari Pemilu Daerah yang mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, serta gubernur, bupati, dan walikota beserta wakilnya. Melalui pengujian Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota diubah pemaknaannya menjadi menyatakan bahwa pemungutan suara nasional dan daerah dilaksanakan dalam dua tahap dengan jeda minimal 2 tahun hingga maksimal 2 tahun 6 bulan.

Menurut Mahkamah, pemisahan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, memperbaiki kualitas demokrasi, serta mengurangi beban berat bagi penyelenggara pemilu dan partai politik yang selama ini menghadapi jadwal pemilu yang sangat padat dalam waktu yang hampir bersamaan.

Meskipun berbagai model pemilu sebelumnya tetap dianggap konstitusional, pembentukan sistem pemilu ke depan harus menjamin efektivitas dan efisiensi, baik dari sisi teknis penyelenggaraan maupun dari sisi pengalaman pemilih. “Model pemilu lima kotak menyebabkan fokus pemilih terpecah dan waktu untuk mencoblos sangat terbatas, yang pada akhirnya mengurangi kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.  

Mahkamah menilai penyelenggaraan pemilu legislatif dan eksekutif secara serentak di tingkat pusat dan daerah menyebabkan isu pembangunan daerah sering tenggelan di tengah dominasi isu nasional. Dengan pemisahan jadwal, MK berharap masyarakat bisa lebih fokus pada isu-isu lokal saat Pemilu Daerah dan pada isu nasional saat Pemilu Nasional.

“Pembangunan daerah harus tetap menjadi perhatian utama dan tidak boleh diabaikan karena tertutup oleh sorotan pada isu nasional yang muncul dalam pemilu legislatif dan pemilihan presiden,” jelas Saldi.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah juga menyatakan pemungutan suara untuk Pemilu Daerah dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan Presiden/Wakil Presiden serta anggota DPR dan DPD terpilih. Ketentuan ini memberi ruang cukup bagi masyarakat dan penyelenggara untuk mempersiapkan pelaksanaan Pemilu Daerah secara lebih matang.

Keserentakan pemilu dalam skema saat ini menyebabkan beban kerja yang sangat tinggi bagi penyelenggara pemilu. Padatnya jadwal pemilu dalam satu tahun membuat masa jabatan penyelenggara tidak efisien, karena hanya efektif bekerja penuh selama dua tahun dari lima tahun masa jabatan. Selain itu, jadwal pemilu yang terlalu rapat berdampak pada pelemahan partai politik. Partai tidak memiliki cukup waktu untuk merekrut calon legislatif maupun eksekutif secara ideal.

“Banyak partai terjebak pada stratrgi elektoral pragmatis dengan mengandalkan popularitas semata, bukan kompetensi atau ideologis partai,” ungkap Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan.

Dalam putusannya, MK pun menyinggung soal masa transisi atau peralihan yang akan terjadi sebagai dampak dari perubahan sistem ini. Masa jabatan kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada 2024 dan anggota DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) Hasil Pemilu 2024 akan menjadi bagian dari transisi menuju sistem pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

“Perumusan masa transisi ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yang harus melakukan ‘rekayasa konstitusional’ atau constitutional engineering guna memastikan sinkronisasi sistem dan masa jabatan.”

Facebook Comments