Usut Kerusuhan Demo Agustus Pemerintah Tegaslah Bentuk TGPF

55 Views
12 Min Read
Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra (kanan) didampingi Wamenko Kumham Imipas Otto Hasibuan (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan usai rapat koordinasi terkait tindak lanjut insiden demonstrasi di beberapa daerah dan Ibu Kota, di kantor Dirjen Imigrasi, Jakarta, Senin (8/9/2025). Dalam keterangannya Menko Yusril menyampaikan bahwa pemerintah akan merespons sejumlah tuntutan rakyat. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.

CENGOS.IN – Kerusuhan yang pecah usai demonstrasi besar-besaran di pelbagai daerah pada akhir Agustus 2025 lalu menimbulkan 10 korban jiwa. Termasuk, pengemudi ojek daring bernama Affan Kurniawan yang tewas usai dilindas kendaraan taktis (Rantis) Brimob Polri, hingga mahasiswa Amikom, Rheza Sendy Pratama yang meninggal dalam kericuhan di depan Mapolda Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jasad penuh luka.

Karena maraknya dugaan pelanggaran prosedur oleh kepolisian dalam penanganan demonstrasi, koalisi masyarakat sipil mendorong pemerintah membentuk tim investigasi independen alias tim gabungan pencari fakta (TGPF). TGPF yang kredibel diharapkan akan mampu mengusut tuntas kejanggalan-kejanggalan kerusuhan dalam demonstrasi tersebut.

Namun, pemerintah tampak masih ogah-ogahan membentuk TGPF untuk mengusut tuntas peristiwa kelam ini. Kementerian Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenko KumHAM Imipas) justru menilai pembentukan TGPF bukan suatu urgensi. Hal ini disampaikan Menko KumHAM Imipas, Yusril Ihza Mahendra.

Menurut Yusril, aparat penegak hukum sudah menindaklanjuti tindakan kekerasan selama rentetan aksi unjuk rasa akhir Agustus lalu. Tindak lanjut tersebut dinilai Yusril sudah tepat dalam merespons kasus-kasus kekerasan yang muncul selama demonstrasi.

“Dapat memastikan bahwa sudah diambil satu langkah tegas terhadap mereka yang terlibat di dalam aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kericuhan beberapa waktu lalu,” ucapnya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2025).

Yusril juga menilai pembentukan tim investigasi independen atau TGPF bakal memakan waktu. Sebab, pembentukan tim perlu mencari sumber daya manusia hingga mengumpulkan fakta. Karena itu, Yusril menilai keberadaan tim independen tidak diperlukan.

“Daripada menunggu lama pembentukan TGPF, saya kira lebih baik kita menggunakan aparat penegak hukum yang ada sekarang. Lebih cepat kerjanya daripada kita berlama-lama. Kecuali, misalnya, negara diam tidak berbuat apa-apa, baru dibentuk TGPF,” ucap Yusril.

Menteri Koordinator Bidang Hukum HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan Imipas (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra. (FOTO/Dok. Hum Kemenko Kumham Imipas)

Wakil Yusril, Otto Hasibuan, setali tiga uang. Otto menyatakan pembentukan tim investigasi tidak diperlukan karena belum ada kepentingannya. Dia menilai kepolisian telah menangani aksi unjuk rasa dengan baik.

Kepolisian memang sudah menangkap ribuan orang terkait peristiwa kerusuhan demonstrasi pelbagai daerah. Namun, mayoritas yang ditangkap merupakan peserta aksi unjuk rasa yang masih mahasiswa dan pelajar. Dari 5.444 orang yang ditangkap, sebanyak 583 masih ditahan atau menjadi tersangka.

Semuanya tengah menjalani proses hukum di wilayah masing-masing, seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan, Kediri, dan beberapa wilayah lainnya.

Di sisi lain, Bareskrim Polri sudah menangkap dan menjadikan tersangka tujuh orang yang dituding sebagai provokator dan dalang kerusuhan. Namun, kebanyakan dari mereka adalah aktivis dan mahasiswa yang memang aktif mengkritik kebijakan pemerintah.

Seperti Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen; staf Lokataru, Muzaffar Salim; admin akun Gejayan Memanggil, Syahdan Husein; hingga mahasiswa Khariq Anhar. Selain itu, patroli siber Polri turut memblokir 592 akun yang disebut menyampaikan konten provokasi.

Kendati demikian, KontraS mencatat hingga Kamis (11/9/2025), masih ada tiga peserta aksi unjuk rasa yang hilang. Mereka adalah Bima Permana Putra, M. Farhan Hamid, dan Reno Syahputradewo. Beberapa orang hilang yang sudah ditemukan ternyata ditangkap polisi dan tak mendapatkan akses pendampingan hukum—sebagian karena miskomunikasi atau hilang kontak.

Lantaran masih terdapat rumpang dalam pengusutan yang dilakukan aparat penegak hukum, sejumlah pengamat hukum dan koalisi masyarakat sipil menilai pembentukan TGPF adalah urgen. Karena itulah, pernyataan Menko KumHAM Imipas pada dasarnya keliru dan salah kaprah.

TGPF sebagai Upaya Memulihkan Kepercayaan Publik

Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratraman, menilai pernyataan Menko Yusril kurang tepat karena mengesankan pemerintah tidak peka terhadap situasi yang terjadi di lapangan terkait demonstrasi Agustus. Demonstrasi ini banyak diwarnai dugaan kekerasan aparat penegak hukum dan tindakan represif. Oleh karena itu, menyerahkan seluruh pengusutan kepada Polri justru rawan membuat tertutup fakta-fakta yang mestinya terungkap ke ruang publik.

“Selama ini, penanganan tidak dilakukan secara profesional bahkan bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hak untuk menjenguk atau mengunjungi klien tidak diperbolehkan oleh polisi baik itu pengacaranya atau keluarganya. Hal seperti itu sebenarnya patut menjadi tanda tanya, dan mengapa ini diperlukan tim independen,” ucap Herlambang kepada wartawan Tirto, Jumat (12/9/2025).

Menurutnya, momentum ini seharusnya mendorong pemerintah membentuk TGPF sebagai upaya memulihkan kepercayaan publik. Langkah ini sekaligus memperbaiki kepercayaan terhadap institusi kepolisian.

Herlambang juga merasa heran dengan alasan Yusril bahwa TGPF akan memakan waktu. Dia melihat kerja-kerja TGPF memang seharusnya mendalam sehingga bisa bekerja sejauh mandat dan kewenangan yang diberikan. Karena temuan TGPF dapat memberikan dorongan yang lebih kuat bagi upaya penegakan hukum yang lebih baik.

Kehadiran tim independen juga bisa membawa implikasi pada upaya memastikan bahwa kekerasan aparat dapat dipertanggungjawabkan. TGPF menjadi upaya bentuk tanggung jawab pemerintah melindungi hak atas rasa aman ataupun memastikan hukum itu berjalan dengan baik.

“Karena jumlah kematian itu kan ada 10 ya, bagaimana pertanggungjawaban atas 10 orang yang telah meninggal dunia, kemudian ditambah dengan kekerasan yang begitu banyak terjadi akibat brutalitas kepolisian,” ujar Herlambang.

SETARA Institute juga mendorong Presiden Prabowo Subianto segera membentuk TGPF yang kredibel. Tim ini penting untuk mengungkap fakta, menemukan pola gerakan, sekaligus membedakan antara aspirasi demokratis yang dijamin konstitusi dan agenda terselubung yang diduga menungganginya.

Personel Polres Ternate menyemprotkan air menggunakan water canon untuk membubarkan massa dalam aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Kota Ternate, di Ternate, Maluku Utara, Senin (1/9/2025).

Keberadaan TGPF dapat menjadi dasar memastikan hak publik atas kebenaran sekaligus menghadirkan rasa aman yang nyata. Pengungkapan data dan fakta atas kejadian ini juga menjadi mekanisme cooling down system atas kemarahan publik, yang berjalan simultan dengan agenda mendasar memperbaiki tata kelola negara.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menjelaskan bahwa keberadaan TGPF tidak menggantikan wewenang polisi dalam pengusutan unjuk rasa Agustus lalu. Sebab Polri memiliki mandat konstitusional di dalam bidang penegakan hukum.

“Tetapi TGPF juga perlu dipertimbangkan sebagai sebuah mekanisme ad hoc yang perlu dibentuk, serta sekaligus sebagai mekanisme kontrol untuk memastikan penyelidikan kasus yang sensitif dapat dipantau secara independen dan transparan, tidak hanya versi aparat negara,” terang Ikhsan kepada wartawan Tirto, Jumat (12/92025).

Terlebih, berbagai tindak kekerasan maupun dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam rangkaian demonstrasi lalu juga diduga dilakukan oleh aparat. Sehingga, jika penyelidikan hanya diserahkan kepada aparat terkait, publik berpotensi meragukan objektivitas hasilnya.

Mengingat kompleksitas persoalan yang terjadi, pemerintah perlu mendukung atau bahkan berinisiatif membentuk TGPF. Tidak bisa lain agar berbagai persoalan menjadi terang dan akuntabel, tidak sekedar menjadi tuduhan belaka atau terjebak narasi konspiratif “demonstrasi ditunggangi pihak asing”.

“Terlebih temuan TGPF tidak hanya bermanfaat mengusut kasus demonstrasi Agustus, tetapi juga bisa menjadi bahan rekomendasi kebijakan untuk mencegah kekerasan aparat di masa depan,” terang Ikhsan.

Sikap Yusril Tidak Sejalan dengan Sikap Presiden?

Lebih dari itu, pernyataan Yusril juga tidak sejalan dengan sikap yang belakangan ini sudah dikemukakan Presiden Prabowo. Ketika bertemu dengan pimpinan redaksi sejumlah media massa di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/9/2025), Prabowo menilai tim investigasi independen memang mungkin dibentuk.

“Saya kira kalau tim investigasi independen, saya kira ini masuk akal. Saya kira itu masuk akal, saya kira bisa dibicarakan dan nanti kita lihat bentuknya kayak bagaimana,” kata Prabowo.

Prabowo juga menjanjikan hal yang sama ketika menjamu Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2025). Salah satu anggota GNB, eks Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim, menyatakan Prabowo menyetujui pembentukan tim investigasi independen yang diminta anggota GNB.

“Aspirasi kami dari GNB adalah perlunya dibentuk komisi investigasi independen terkait dengan kejadian prahara Agustus beberapa waktu yang lalu, yang menimbulkan jumlah korban jiwa, korban kekerasan, luka-luka, dan seterusnya yang cukup banyak,” tuturnya saat menyampaikan keterangan pers usai pertemuan di Istana.

“Presiden menyetujui pembentukan itu. Dan detailnya tentu nanti pihak Istana akan menyampaikan bagaimana formatnya,” sambung Lukman.

Karenanya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pernyataan Yusri yang ogah membentuk TGPF sebagai langkah tidak tepat dan tidak sensitif terhadap keluarga korban yang sedang mencari keadilan. Yusril juga seperti kurang peka melihat perbedaan sikap antara TNI dan Polri terkait dugaan keterlibatan aparat keamanan sebagai dalang kerusuhan demonstrasi Agustus.

“Padahal, tim atau komisi penyelidik independen itu bisa menjadi jalan keluar di tengah ketegangan dua institusi tersebut,” ujar Usman kepada wartawan Tirto, Jumat (12/9).

Pengacara Publik LBH Jakarta Khaerul Anwar bersiap menyampaikan laporan investigasi tentang temuan awal kasus kematian Affan Kurniawan oleh Gugus Tugas Pencari Fakta Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) di Jakarta, Rabu (10/9/2025). Dalam laporannya Gugus Tugas Pencari Fakta TAUD menyampaikan terdapat adanya pelanggaran hukum dan prosedur oleh personel brimob yang mengendarai kendaraan taktis hingga melindas Affan Kurniawan yang menyebabkan korban meninggal dunia. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz

Sebagai pembantu presiden, Menko Yusril idealnya mengambil langkah yang sejalan dengan apa yang telah diputuskan oleh presiden.

Menurut Usman, proses investigasi pidana yang dilakukan oleh polisi tidak cukup. Idealnya ada tim independen gabungan yang berasal dari unsur nonkepolisian agar investigasi ini menjadi lebih independen dan transparan.

Oleh karena itu, negara mesti mendorong investigasi independen yang melibatkan tokoh-tokoh dan unsur masyarakat yang punya integritas dan lintas keahlian. Komnas HAM juga segera melakukan penyelidikan pro justitia atas terbunuhnya 10 warga sipil selama aksi unjuk rasa.

“Alasan memakan banyak waktu sangatlah tidak tepat untuk disampaikan oleh seorang Menko yang membawahi permasalahan hukum di Indonesia. Tidak boleh karena alasan waktu hak keluarga korban untuk mendapatkan keadilan lewat proses investigasi yang independen dan transparan diabaikan,” tegas Usman.

Belakangan, Menko Yusril meralat pernyataannya lewat keterangan tertulis, Jumat (12/9/2025). Dia menyatakan pembentukan TGPF menjadi kewenangan Presiden Prabowo. Yusril menyebut, Presiden Prabowo memang menyetujui usulan tersebut.

“Jika keputusan itu beliau ambil, maka sebagai pembantu beliau, kami akan memfasilitasi pembentukan tim independen untuk mengungkap semua fakta yang terjadi,” kata Yusril.

Teranyar, Jumat (12/9/2925), enam lembaga nasional hak asasi manusia membentuk tim independen pencari fakta untuk menyelidiki peristiwa unjuk rasa yang berlangsung akhir Agustus hingga pascademonstrasi pada September 2025.

Enam lembaga tersebut adalah Komnas HAM, Komnas Perempuan; Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI); Ombudsman; Komisi Nasional Disabilitas; dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Namun, belum ada keterangan lebih lanjut dari pemerintah apakah tim independen ini merupakan TGPF yang dijanjikan presiden Prabowo atau merupakan inisiatif independen dari enam LN HAM.

Facebook Comments Box

Ikutin Kami

Saluran Whatsapp:
https://s.id/SaluranWACengos

Saluran Telegram:
https://t.me/CengosNetwork

Related Post

Share This Article